MEMBUKA MATA DAN MEMPERHATIKAN SEORANG BAPAK
BERJALAN PINCANG
Di pinggir jalan aku memperhatikan seorang bapak tua
Berjalan pincang. Tongkat kayu sengaja dipikulnya sebagai penopang
Jika sesekali ia memaksa berdiri atau memilih duduk lagi. Lagi.
Bapak tua yang kuperhatikan dengan satu mata
Lebih membuka hati daripada dua mata
Mata yang kanan akan melukai mata yang kiri
Mata yang kiri akan berlari dan mengejek mata kanan.
Perlahan ia mulai bangkit, bangkit, dan tumbang seketika.
Ia memilih duduk di tepi jalan menatap orang-orang berkendara
Seperti kilat dan menyapanya sesekali dengan bunyi klakson
Seolah-olah klakson sebagai pengganti selamat siang dan Anda sedang lapar.
Dari jauh satu mata saya menghitung orang-orang yang melintas secepat angin
Ada orang kantoran, ada pegawai, ada pejabat dan ada aku juga.
Aku dan orang-orang bermobil adalah keturunan langsung dari
Para imam, para lewi, para lalu-lalang. Bapak itu berjalan tersendat-sendat
Jatuh tiga kali. Tongkatnya patah dan ia pun patah. Kakinya retak bersama dadanya
Menguap dahaga, lapar, dan duka. Tujuh macam duka dari matanya yang layu
Memancar. Aku memperhatikan sungguh-sungguh caranya berdiri dan berjalan.
Aku mendekat dan menggosok satu mata saya; ia terkapar ditabrak lari.
*Ritapiret, 21 Januari 2016.
MINUM AIR
Musik yang melengking dari sebelah kamar itu
Membangunkan saya dan memaksa untuk tak tidur lagi.
Bunyinya kasar. Seperti bunyi kuda liar yang mencuri rumput sapi.
Bunyi yang terlalu bahaya, tapi aku suka bahaya
Persis katamu ketika hujan kemarin terlambat pulang
Karena sore lebih dahulu menggebuk di pantatnya.
Hujan kadang nakal dan kekanak-kanakan
Kau juga kenak-kanakan. Hanya aku yang masih anak-anak.
Hari ini begitu gerah, matahari yang menjadi musuh kita
Membalas dendam berlipat-lipat, hendak melipat kita
Menaruhnya dalam luapan panas yang menyesak.
Kita berebutan gelas dan gelas pecah di matamu
Kemudian matamu mengalirkan darah segar
Aku sering menadahnya lalu penuhlah gelasku
Jika mengingat kembali hari pertarungan kita
Matahari selalu mengingatkan saya
Untuk menyuling darahmu dan meminumnya empat belas kali.
Matahari berhati dan aku cukup hati-hati memanggil hujan
Untuk menjerang air dari matamu.
*Ritapiret, 21 Januari 2016.
TUMPAH
aku ingin menumpahkan air mataku
lalu tumpah begitu saja di jalan-jalan
orang-orang yang berlalu lalang akan
terpelanting jatuh di atas dukaku.
dan semoga.
*Ritapiret, 19 Januari 2015.
PELAJARAN MENULIS PUISI
Di bangku kelas empat sd, ibu guru kadang merapikan papan tulis
Membaca puisi, dan menyanyikan puisi. Suaranya merdu seperti
Angin timur yang bertamu sewaktu diantar matahari.
Anak-anak memperhatikan bu guru cara mendandani puisi
Dengan irama delapan ketukan. Puisi-puisi yang dimoleki
Mulai menari di depan kelas. Anak-anak disuruh bertepuk tangan sambil membungkuk.
Tiba-tiba lonceng berbunyi
Pelajaran pun diakhiri dengan pesan bu guru;
Anak-anak puisi adalah gadis yang perlu kamu
Asuh di atas ranjang jika kelak beranjak dewasa.
*Ritapiret, 19 Januari 2015.
HUJAN YANG TERLAMBAT DATANG
Pagi-pagi sekali aku mendapat laporanmu
Di radio yang sengaja kugantungkan di ujung jendela
Agar angin lebih cepat mengabarinya.
Sementara aku meneguk teh tawar kesukaanku
Radio yang tergantung tadi turun
Dan menghampiriku sambil berkata perlahan;
Paduka, kekasihmu tak ingin datang
Merayumu waktu malam. Ia sedang ditiduri lelaki lain
Dan ia membiarkan dadanya diitelanjangi begitu saja.
Aku tak langsung menjawab, tetapi mengambil pena
Menulis pada dinding luar rumahku;
Katakan pada hujan, kekasihku masih kurindu
Lekaslah ia datang segera karena
Aku sedang berladang musim ini.
*Ritapiret, 18 Januari 2016.